Rabu, 04 Mei 2016

AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN

Pengertian Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan (PPh) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan.
Pajak Penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan ini dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan. Pajak penghasilan merupakan beban yang timbul karena diberlakukannya peraturan perpajakan kepada dunia usaha pada negara tertentu dan beban pajak penghasilan ini memiliki jumlah yang material dalam laporan keuangan perusahaan Jumlah beban pajak (tax expense) atau penghasilan pajak (tax income) yang harus diakui dalam penghitungan laba atau rugi pada satu periode terdiri dua unsur utama yaitu (i) pajak kini (current tax), yaitu jumlah pajak pada satu periode dan (ii) pajak tangguhan (deffered tax).
Di Indonesia, penghitungan mengenai akuntansi pajak ppenghasilan diatur dalam PSAK No. 46 yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1999 untuk perusahaan yang menerbitkan surat-surat berharga  yang diperdagangkan kepada publik dan  bagi perusahaan lainnya dimulai pada atau setelah 1 Januari 2001, PSAK No.46 ini bertujuan mengatur perlakuan akuntansi pajak penghasilan melalui pengakuan, pengukurang/penilaian, penyajian pengungkapan pajak penghasilan dan pengaruhnya, yaitu Kewajiban Pajak Tangguhan (deffered Tax Liabilities/ DTL) dan atau aset pajak tangguhan (Deferrred Tax Asset/DTA) dalam laporan keuangan perusahaan. Pengakuan atas DTL atau DTA muncul akibat adanya perbedaan temporer antara UU Perpajakan dengan SAK (Standar Akuntansi Keuangan). 

2.2 Perbedaan Permanen dan Perbedaan Temporer
Perusahaan harus menyajikan laporan keuangan kepada pemegang saham sesuai dengan SAK yang berlaku. Namun sebagai wajib pajak, perusahaan juga harus menyajikan laporan keuangan kepada pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak, sesuai dengan keputusan perpajakan dalam sebuah Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan (SPT Tahunan PPh Badan). Karena SAK dan ketentuan perpajakan banyak memiliki perbedaan, penentu laba akuntansi (pretax financial income) dan penghasilan kena pajak atau laba fiskal (taxable income) juga seringkali menghasilkan perbedaan. Perbedaan ini dibagi menjadi dua macam yaitu perbedaan permanen/ tetap (permanent differences) dan perbedaan temporer/ sementara (temporary differences).
Perbedaan Permanen
Perbedaan ini disebabkan oleh berbagai provisi dari Undang-Undang Perpajakan yang menentukan beberapa jenis pendapatan yang dibebaskan dari pajak penghasilan tidak kena pajak (non taxable income) dan beberapa jenis beban yang tidak boleh dikurangkan (non deductible expense). Kedua hal ini tidak menimbulkan masalah akuntansi karena tidak pernah diperhitungkan dalam menentukan laba kena pajak atau laba fiscal (taxable income), namun dimasukan dalam perhitungan laba akuntansi sesuai SAK atau laba komersial (pretax financial income). Oleh karena itu, perbedaan ini tidak mempengaruhi pajak kini atau pun pajak tangguhan.
Jenis Perbedaan Tetap yaitu:
Penghasilan yang telah dipotong PPh (pajak penghasilan) final,
Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak,
Pengeluaran termasuk dalam beban yang tidak boleh dikurangkan (pasal 9 ayat 1 UU PPh), dan
Pengeluaran yang tidak termasuk dalam beban yang boleh dikurangkan/deductible expenses (pasal 6 ayat 1 UU PPh).
Contoh-contoh perbedaan tetap adalah pendapatan bunga deposito karena bersifat final, uang yang dihasilkan dari polis asuransi jiwa, bunga yang diterima dari obligasi pemerintah, beban entertaiment yang tidak disertai bukti-bukti yang sah, denda karena pelanggaran hukum, dan pembayaran prermium asuransi jiwa.
Perbedaan Temporer
Perbedaan Temporer adalah perbedaan antara laba akuntansi dan penghasilan kena pajak yang disebabkan oleh ketentuan perpajakan dan membeikan pengaruh di masa mendatang dalam jangka waktu tertentu sehingga pengaruh terhadap laba akuntansi dan penghasila kena pajak akhirnya menjadi sama. Perbedaan Temporer dibagi menjadi dua:
Perbedaan Temporer kena pajak (taxable temporary differences) adalah perbedaan yang menimbulkan suatu jumlah kena pajak dalam penghitungan laba fiskal periode mendatang pada saat nilai tercatat aset dipulihkan atau nilai tercatat kewajiban tersebut dilunasi. Jumlah pajak penghasilan yang diharapkan akan dibayar pada penghasilan kena pajak tambahan di masa mendatang akan dicatat pada neraca sebagai Kewajiban Pajak Tangguhan (Deffered Tax Liabilities/DTL).
Contoh-contoh kewajiban pajak tangguhan :
Metode penjualan pencicilan (Installment sales method), untuk tujuan perpajakan menggunakan dasar kas, sedangkan untuk pelaporan keuangan (financial reporting) menggunakan dasar akrual untuk pengakuan pendapatan penjualannya.
Keuntungan yang belum direalisasi untuk trading securities, keuntungan tersebut akan diakui untuk tujuan pelaporan keuangan, sedangkan untuk tujuan perpajakan keuntungan akan diakui pada saat sekuritas tersebut dijual.
Perbedaan metode penyusunan aset tetap untuk tujuan pelaporan keuangan dan perpajakan.
Perbedaan  yang boleh dikurangkan (deductible Temporary diffrences) adalh perbedaan temporer yang menimbulkan suatu jumlah yang boleh dikurangkan dalam penghitungan laba fiskal periode mendatang pada saat nilai tercatat aset dipulihkan atau nilai tercatat kewajiban tersebut dilunasi. Jumlah pengangguran pajak penghasilan yang diharapkan ini akan dicatat pada neraca sebagai Aset Pajak Tangguhan (Deffered Tax Asset/ DTA).
Contoh-contoh aset pajak tangguhan:
Pendapatan diterima dimuka (unearned revenue), pendapatan akan diakui pada saat periode perolehannya untuk tujuan perpajakan, tapi akan ditangguhkan pengakuan pendapatannya pada periode mendatang untuk tujuan pelaporan keuangan.
Beban garansi (Warranty expense) atau beban piutang tak tertagih (bad debt expense) akan dikurangkan untuk tujuan perpajakan ketika telah benar-benar terjadi, namun akan menjadi akrual pada tahun penjualan untuk tujuan pelaporan keuangan.
Kerugian yang belum direalisasi untuk trading securities, kerugian tersebut akan diakui utnuk tujuan pelaporan keuangan, sedangkan untuk tujuan perpajakan akan diakui pada saat sekuritas tersebut dijual.

2.3 Alokasi Pajak Penghasilan
Prinsip-Prinsip Alokasi Pajak
Pada dasarnya Alokasi Pajak Penghasilan bagi perusahaan sebagai wajib pajak bias mencakup 2 hal, yaitu:
Interperiod Tax Allocation
Interperiod tax allocation nampaknya lebih berkepentingan dengan alokasi selisih pajak teoritis dan utang pajak (SKP) sehubungan dengan perbedaan waktu (timing difference). Interperiod tax allocation merupakan proses alokasi pajak penghasilan antar periode tahun buku yang satu dengan periode-periode tahun buku berikut atau sesudahnya. Alokasi pajak penghasilan antar periode tahun buku ini diperlukan karena adanya perbedaan terhadap jumlah laba kena pajak dan laba akuntansi.

Intraperiod Tax Allocation
Intraperiod tax allocation (alokasi beban pajak pada tahun yang sama) nampaknya merupakan salah satu pendekatan pengungkapan (disclosure) dan pelaporan suatu segmen penghasilan setelah dikurangi pajak penghasilannya sehingga nampak berapa penghasilan setelah pajaknya. Intraperiod Tax Allocation merupakan proses alokasi pajak penghasilan dalam suatu periode akuntansi karena adanya perbedaan tarif pajak yang dikenakan terhadap tiap-tiap komponen laba atau pendapatan (Misalnya, tarif pajak untuk laba sebelum pos luar biasa berbeda dengan tarif pajak untuk laba atau rugi luar biasa).
Karena Undang-Undang Perpajakan di Indonesia tidak mengenal diskriminasi tarif yang diberlakukan terhadap tiap-tiap komponen laba atau pendapatan, maka masalah Intraperiod Tax Allocation praktis tidak pernah dijumpai, sehingga pembahasan lebih dititik beratkan pada masalah Interperiod Tax Allocation.
Metode Alokasi Pajak
Pajak Penghasilan diperlakukan sebagai biaya bagi perusahaan. Oleh karena itu Pajak Penghasilan harus diasosiasikan dengan laba dimana pajak penghasilan tersebut dikenakan atau diperhitungkan. Proses untuk mengasosiasikan Pajak Penghasilan dengan laba dimana pajak itu dikenakan disebut Alokasi Pajak. Pada dasarnya terdapat 3 alternatif metode alokasi pajak yang bisa dipakai, yaitu :
Deferred Method
Menurut metode ini, selisih jumlah Pajak Penghasilan Terhutang (berdasar SPT) dengan Biaya Pajak Penghasilan (berdasar laba akuntansi) dalam suatu periode harus dicatat dan disajikan dalam Laporan Keuangan sebagai Pajak yang Ditangguhkan. Jumlah Pajak yang Ditangguhkan ditentukan berdasar tarif pajak yang berlaku pada saat terjadinya transaksi atau item yang menyebabkan terjadinya perbedaan atau selisih antara laba kena pajak dan laba akuntansinya. Deffered Method berorientasi pada Laporan Rugi – Laba dan menitik beratkan pada tercapainya proper matching antara pendapatan dan biaya dalam periode di mana selisih perhitungan pajak terjadi.
Liability Method
Menurut metode ini jumlah Pajak yang Ditangguhkan ditentukan berdasar tarif pajak yang diharapkan akan berlaku dalam periode di mana selisih pajak akan dikompensasikan. Perhitungan Pajak yang Ditangguhkan bersifat tentatif yang selalu memerlukan penyesuaian pada setiap kali terjadi perubahan tarif pajak penghasilan. Dalam metode ini jumlah yang dilaporkan harus disesuaikan jika terjadi perubahan tarif yang menunjukan jumlah lain yang akan dibayar dimasa mendatang. Menurut liability method, pajak yang ditangguhkan harus dipandang sebagai kewajiban ekonomis untuk pajak yang terhutang atau sebagai aktiva untuk pajak yang dibayar dimuka.
Net of Tax Method
Metode bersih dari pajak (net of tax method), yang sebetulnya merupakan metode yang mengungkapkan pengaruh pajak atas perbedaan waktu yang dihitung apakah berdasarkan metode pajak tangguhan atau hutang pajak. Menurut metode ini, melaporkan Pajak yang Ditangguhkan dalam neraca tidak dibenarkan karena Biaya Pajak Penghasilan yang dilaporkan dalam Laporan Rugi – Laba harus sama dengan jumlah Pajak Penghasilan Terhutang atau pajak yang harus dibayar untuk periode yang bersangkutan. Selisih yang terjadi karena adanya perbedaan laba kena pajak dan laba akuntansi tidak dibukukan dalam suatu rekening tersendiri, tetapi ditambahkan atau dikurangkan kepada aktiva atau hutang tertentu serta unsur pendapatan atau biaya yang bersangkutan.
Menurut Standar Akuntansi Keuangan ( PSAK 46 ) di antara ketiga metode tersebut, hanya Deferred Method ( Metode Pajak Tangguhan ) yang diperkenankan digunakan. Terpilihnya metode pajak tangguhan untuk digunakan dalam penyusunan laporan keuangan, karena secara umum dapat dikatakan bahwa metode ini memasukkan alokasi perbedaan temporer yang komprehensif dan bukan alokasi perbedaan temporer yang parsial. Selain itu keunggulan dan kelemahan dari metode ini adalah : metode pajak tangguhan lebih menekankan pada pengukuran berapa besar penghematan pajak kini akibat perbedaan temporer tersebut yang dialokasikan pada periode mendatang. Sedangkan di lain pihak, metode kewajiaban tekanannya pada berapa besar pengeluaran kas yang akan dilakukan di masa mendatang untuk keperluan pajak penghasilan terutang.

2.4 Kewajiban Pajak Tangguhan dan Aset Pajak Tangguhan
Pajak Tangguhan
Pajak tangguhan adalah pajak yang kewajibannya ditunda sampai waktu yang ditentukan atau diperbolehkan. Pada dasarnya antara akuntansi pajak dan akuntansi keuangan memiliki kesamaan tujuan, yaitu untuk menetapkan hasil operasi bisnis dengan pengukuran dan rekognisi pengahasilan dan biaya. Namun ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian, bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tidak sekadar intstrumen penstranfer sumber daya ( fungsi budgeter), akan tetapi seringkali pula digunakan untuk tujuan memepengaruhi perilaku wajib pajak untuk inveastasi, kesejahteraan dll ( fungsi mengatur) yang kadang-kadang merupakan alasan untuk membenarkan penyimpangan dari standar akuntansi keuangan.
Oleh karena basis pengenaan penghasilan untuk keperluan perhitungan pajak penghasilan berbeda dengan basis perhitungan penghasilan untuk keperluan komersial, atau dengan perkataan lain, akibat dari perbedaan rekognisi penghasilan dan biaya, maka akan terdapat perbedaan yang cukup signifikan antar kedua basis tersebut. Pajak penghasilan yang dihitung berbasis pada penghasilan yang sesungguhnya dibayar kepada pemerintah, disebut sebagai “PPh terutang-income tax payable atau income tax liability”, sedangkan pajak penghasilan yang dihitung berbasis penghasilan sebelum pajak, disebut sebagai “beban pajak penghasilan-income tax expense/ profision for income taxes”.
Perhitungan Kewajiban Pajak Tangguhan dan Aset Pajak Tangguhan
Beban PPh terdiri atas beban pajak kini dan beban pajak tangguhan atau pendapatan pajak tangguhan. Pajak kini ( current tax ) merupakan jumlah PPh terutang atas Penghasilan Kena Pajak pada suatu periode. Pajak Penghasilan diperlakukan sebagai biaya bagi perusahaan. Oleh karena itu, Pajak Penghasilan harus diasosiasikan dengan laba dimana Pajak Penghasilan tersebut dikenakan atau diperhitungkan. Proses untuk mengasosiasiakan Pajak Penghasilan dengan laba dimana pajak itu dikenakan disebut Alokasi Pajak.
Beban pajak tangguhan akan menimbulkan kewajiban pajak tangguhan sedangkan pendapatan pajak tangguhan mengakibatkan aset pajak tangguhan.
Kewajiban Pajak Tangguhan
Kewajiban pajak tangguhan timbul karena adanya perbedaan waktu yang menyebabkan terjadinya koreksi negative sehingga beban pajak menurut akuntansi lebih besar daripada beban pajak menurut peraturan perpajakan. Kewajiban pajak tangguhan adalah jumlah PPh terutang untuk periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak.
Ilustrasi sederhana kewajiban pajak tangguhan:
PT. Simpel memiliki penjualan selama tahun 2010 sebesar Rp. 200.000.000. Dari penjualan tersebut hanya Rp. 130.000.000 yang tertagih secara tunai, sedangkan sisanya sebesar Rp. 70.000.000 diharapkan dapat ditagih pada tahun 2011. Peraturan pajak menetapkan bahwa penghasilan tidak dikenakan pajak sampai tertagih dalam bentuk kas. Tarif pajak tahun 2010 dan tahun berikutnya adlah 30%. Asuransi selama tahun 2010, beban perusahaan yang terjadi hanya beban pajak penghasilan.
Dari ilustrasi di atas, PT. Simpel membuat tabel perbedaan laba komersial dan laba fiskal untuk penjualan tersebut pada tahun 31 desember 2010 sebagai berikut:

Keterangan
Laba
komersial
Perbedaan

Laba
Fiskal



Permanen
Temporer


Pendapatan
200.000.000

(70.000.000)
130.000.000

Beban Perusahaan
0


0

Laba (setelah koreksi)
200.000.000

(70.000.000)
130.000.000


Menurut perhitungan laba akuntansi sesuai standar akuntansi keuangan (SAK), laba komersial (pretax financial income) yang diakui PT. Simpel untuk tahun yang berakhir pada 31 Desember 2010 adalah Rp. 200.000.000. Sedangkan dalam penentuan laba kena pajak atau laba fiskal (taxable income), laba yang diakui adalah Rp. 130.000.000 berdasarkan peraturan pajak yaitu sebesar jumlah uang tunai yang di terima. Akhirnya, terjadi perbedaan yang bersifat temporer sebesar Rp. 70.000.000. Perbedaan temporer ini berupa kewajiban pajak tangguhan karena, pada awal tahun 2010, laba fiskal (yaitu Rp. 0, karena belum ada pengakuan penjualan) lebih kecil daripada laba komersial (yaitu Rp. 200.000.000 karena sudah ada pengakuan penjualan dengan menggunakan konsep dasar akrual).
Beban pajak kini yang muncul di hitung berdasarkan laba kena pajak/laba fiskal yaitu sebesar Rp. 39.000.000 (Rp. 130.000.000 x 30%). Perusahaan juga mencatat kewajiban pajak tangguhan sebesar Rp. 21.000.000 (Rp. 70.000.000 x 30%). Ayat jurnal yang dibuat oleh PT. Simpel untuk mecatat beban pajak kini dan kewajiban pajak tangguhan pada 31 Desember 2010 adalah :
Tanggal

Nama Perkiraan
Debet
Kredit


31 Des 2010



31 Des 2010


Beban Pajak Penghasilan – kini 
Kewajiban Pajak Penghasilan


Beban Pajak Penghasilan – Tangguhan
 Kewajiban Pajak Tangguhan


39.000.000





21.000.000



39.000.000





21.000.000




Pencatatan ayat jurnal di atas juga dapat di gabung menjadi satu jurnal yaitu sebagai berikut :
Tanggal

Nama Perkiraan
Debet
Kredit


31 Des 2010





Beban Pajak Penghasilan
Kewajiban Pajak Penghasilan
Kewajiban Pajak Tangguhan

60.000.000


39.000.000

21.000.000


Seperti terlihat ayat jurnal pajak penghasilan tahun 2010, total beban pajak penghasilan yang terjadi adalah Rp. 60.000.000 yang merupakan penjumlahan beban pajak kini Rp. 39.000.000 dan beban pajak tangguhan Rp. 21.000.000. Berikut adalah penyajian laporan laba rugi parsial PT. Simpel untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2010 :


PT. Simpel
Laporan Laba Rugi (Parsial)
Untuk Tahun yang Berakhir 31 Desember 2010

Laba sebelum pajak Rp. 200.000.000

Beban Pajak Penghasilan:
Kini Rp. 39.000.000
Tangguhan       21.000.000        60.000.000

Laba Bersih Rp. 140.000.000


Aset Pajak Tangguhan
Aset pajak tangguhan timbul apabila beda waktu yang menyebabkan terjadinya koreksi positif sehingga beban pajak menurut akuntansi lebih kecil daripada beban pajak menurut peraturan perpajakan. Aset pajak tangguhan adalah jumlah PPh terpulihkan pada periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer yang boleh di kurangkan dan sisa kompensasi kerugian.
Ilustrasi sederhana aset pajak tangguhan:
PT. Simpel memulai usahanya pada tanggal 2 Januari 2010 dan mencatat pendapatan sebesar Rp. 500.000.000 untuk tahun berjalan. Selain beban pajak penghasilan, satu-satunya beban perusahaan adalah beban piutang tak tertagih sebesar Rp. 15.000.000. peraturan pajak tidak memperbolehkan pengurangan apapun hingga piutang tak tertagih benar-benar dihapuskan. Selama tahun 2010, jumlah piutang tak tertagih yang dihapuskan adalah Rp. 4.000.000. tariff pajak tahun 2010 dan berikutnya adalah 30%.
Tabel yang dibuat oleh PT. Simple atas perbedaan laba komersial dan laba fiscal untuk beban piutang tak tertagih pada tahun 31 Desember 2010 tersebut adalah sebagai berikut:
Keterangan
Laba
komersial
Perbedaan

Laba
Fiskal



Permanen
Temporer


Pendapatan
500.000.000

(70.000.000)
500.000.000

Koreksi:





Beban Piutang Tak Tertagih
(15.000.000)

11.000.000
(4.000.000)

Laba (setelah koreksi)
485.000.000

11.000.000
496.000.000


Menurut perhitungan laba akutansi sesuai SAK, laba komersial (pretax financial income) yang diakui PT. Simpel untuk tahun yang berakhir pada 31 Desember 2010 adalah Rp. 485.000.000. sedangkan dalam penentuan laba kena pajak atau lba fiscal (taxable income), laba yang diakui adalah Rp. 496.000.000 berdasarkan peraturan pajak. Akibatnya, terjadi perbedaan yang bersifat temporer sebesar Rp. 11.000.000. perbedaan temporer ini berupa aset pajak tangguhan karena, pada awal tahun 2010, laba fiscal (yaitu Rp. 500.000.000, karena belum ada beban piutang tak tertagih) lebih besar daripada laba komersial (yaitu Rp. 485.000.000 karena sudah ada pengakuan beban piutang tak tertagih dengan menggunakan konsep dasar akrual).
Beban pajak kini yang muncul dihitung berdasarkan laba kena pajak/laba fiskal yaitu sebesar Rp. 148.800.000 (Rp. 496.000.000 x 30%). Perusahaan juga mencatat aset pajak tangguhan sebesar Rp. 3.300.000 (Rp. 11.000.000 x 30%). Ayat jurnal yang dibuat oleh PT. Simpel untuk mencatat beban pajak kini dan aset pajak tangguhan pada 31 Desember 2010 adalah:
Tanggal

Nama Perkiraan
Debet
Kredit


31 Des 2010



31 Des 2010


Beban Pajak Penghasilan – kini 
Kewajiban Pajak Penghasilan


Beban Pajak Tangguhan
Manfaat Pajak Penghasilan - Tangguhan


148.800.000





3.300.000



148.800.000




3.300.000




Pencatatan ayat jurnal di atas juga dapat digabung menjadi satu jurnal dimana beban pajak penghasilan dapat dikompensasikan (offset) dengan manfaat pajak penghasilan (income tax benefit) sebagai berikut:
Tanggal

Nama Perkiraan
Debet
Kredit


31 Des 2010



Beban Pajak Penghasilan
Aset Pajak Tangguhan
Kewajiban Pajak Penghasilan

145.500.000
    3.300.000




148.800.000


Seperti terlihat pada ayat jurnal pajak penghasilan tahun 2010, total beban pajak penghasilan yang terjadi adalah Rp. 145.500.000 yang merupakan pengurangan beban pajak kini Rp. 148.800.000 dan manfaat pajak tangguhan Rp. 3.300.000. berikutnya adalah penyajian laporan laba rugi parsial PT. Simpel untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2010 :
PT. Simpel
Laporan Laba Rugi (Parsial)
Untuk Tahun yang Berakhir 31 Desember 2010

Pendapatan Rp. 500.000.000
Beban Piutang Tak Tetagih         15.000.000

Laba Sebelum Pajak        485.000.000

Beban Pajak Penghasilan:
Kini Rp. 148.000.000
Manfaat Tangguhan         (3.300.000)       145.500.000

Laba Bersih Rp. 339.500.000

Apabila Penghasilan sebelum Pajak lebih besar dari Penghasilan Kena Pajak, maka Beban Pajak pun akan lebih besar dari Pajak Terutang, sehingga akan menghasilkan Kewajiban Pajak Tangguhan.
Sebaliknya apabila Penghasilan Sebelum Pajak lebih kecil dari Penghasilan Kena Pajak, maka Beban Pajaknya akan juga lebih kecil dari Pajak Terutang, sehingga akan menghasilkan Aktiva Pajak Tangguhan.
Perbedaan Temporer
Perbedaan Temporer x Tarif
Hasilnya :

PSP > PKP
BP > PT
Kewajiban Pajak Tangguhan

PSP < PKP
BP < PT
Aset Pajak Tangguhan


Keterangan :
PSP : Penghasilan Sebelum Pajak BP : Beban Pajak
PKP : Penghasilan Kena Pajak PT : Pajak Terutang

Selasa, 03 Mei 2016

Tugas kewirausahaan minggu ke 4

Nama : Ayu Yusinta
Kelas : 2DA02

Biografi
Sukanto Tanoto yang terlahir dengan nama Tan Kang Hoo merupakan seorang pengusaha atau konglomerat sukses asal Indonesia yang pada tahun 2006 di tasbihkan oleh majalah Forbes sebagai orang terkaya di Indonesia, ia memimpin perusahaan yang bernama PT Raja Garuda Mas yang berbasis di Singapura yang usahanya di berbagai sektor terutama disektor kertas dan kelapa sawit sehingga Sukanto Tanoto dijuluki sebagai Si Raja Kertas dan Kelapa Sawit. Ia merupakan salah satu pengusaha yang berhasil berinvestasi di lebih dari sepuluh negara di Dunia. Sukanto Tanoto dilahirkan di Belawan, Sumatera Utara, 25 Desember 1949. Ia mengenyam pendidikan SD di Belawan pada tahun 1960 dan kemudian Masuk SMP di medan pada tahun 1963. Pada usia 12 tahun Sukanto Tanoto sudah gemar membaca apa saja, termasuk buku tentang revolusi Amerika dan Perang Dunia


Sukanto Tanoto mengaku sosoknya mirip ibunya yaitu tegas dan keras. Pernah suatu ketika Sukanto kecil ngeluyur pergi ke tepi laut. Waktu pulang, ditanya oleh ibunya, jawabnya mengarang-ngarang, Sukanto kecil dipukuli pakai rotan. “Saya paling banyak makan rotan,” kenangnya tentang sosok sang ibu. Tapi, dengan sifat keras dan tegas, termasuk dalam hal berbisnis, ia bisa menjadi salah seorang pengusaha papan atas Indonesia, memimpin sejumlah perusahaan di bawah grup Raja Garuda Mas Internasional. Sukanto Tanoto bercita-cita jadi dokter. “Kalau dulu saya meneruskan ke fakultas kedokteran, saya jadi dokter,” ujarnya. Karena obsesi itulah, sampai 1973-1974, ia masih senang pakai nama dokter Sukanto. Tapi, saat baru 18 tahun, ayahnya, Amin Tanoto, sakit stroke. Sulung dari tujuh bersaudara ini lalu mengambil alih tanggung jawab keluarga: meneruskan usaha orangtua berjualan minyak, bensin, dan peralatan mobil. Pekerjaan yang tak asing baginya karena sepulang sekolah ia biasa membantu orangtuanya sambil membaca buku. Dan, dari situ Sukanto alias Tan Kang Hoo pertama kali belajar keterampilan bisnis, termasuk menerima kenyataan dan tidak menyerah dalam keadaan apa pun, serta mencari solusi.

Pindah dari kota kelahirannya, Belawan, Sumatra Utara, ke Medan, ia juga berdagang onderdil mobil, lalu mengubah usaha itu menjadi general contractor & supplier. Suatu ketika, datang Sjam, seorang pejabat Pertamina dari Aceh. “Waktu itu saya tidak tahu kalau dia pejabat,” kenang Sukanto. Ditawari kerja sama pekerjaan kontraktor, “Ya, mau-mau saja, wong saya masih muda,” ujarnya. Tak disia-diakan kesempatan itu, di Pangkalan Brandan, Sumatra Utara, Sukanto membangun rumah, memasang AC, pipa, traktor, dan membuat lapangan golf di Prapat. “Itulah technical school saya,” katanya. Untuk mencari bahan bangunan, ia sampai pergi Sumbawa, Lampung, pada usia 20 tahun.

Pandai melihat peluang, waktu impor kayu lapis dari Singapura menghilang di pasaran, di Medan ia mendirikan perusahaan kayu, CV Karya Pelita, 1972. “Negara kita kaya kayu, mengapa kita mengimpor kayu lapis” ujarnya. “Saya itu pioner,” katanya. Di saat orang lain belum membuat kayu lapis, ia memproduksi kayu lapis dan mengubah nama perusahaannya menjadi PT Raja Garuda Mas (RGM), dengan ia sebagai direktur utama, 1973. Kayu lapis bermerek Polyplex itu diimpor ke berbagai negara Pasaran Bersama Eropa, Inggris, dan Timur Tengah. 

“Strategy competition saya itu satu dua step sebelum orang mengerjakannya,” ungkapnya. Ketika belum ada orang membuka perkebunan swasta besar-besaran, walaupun waktu itu sudah ada perkebunan asing, di Sumatra, Sukanto membuka perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran. 

“Setelah itu baru kita bikin Indorayon,” tuturnya. PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang bergerak di bidang reforestation menghasilkan pulp, kertas, dan rayon, serta mampu memasok bibit unggul pohon pembuat pulp di dalam negeri. Kehadiran IIU sempat ditentang masyarakat dan aktivis lingkungan hidup. Karena, ditengarai, Danau Toba tercemar berat oleh limbah pulp. Akibatnya, IIU sempat ditutup. 

Tapi, Sukanto memetik hikmahnya: belajar dari kesalahan, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. “Apa yang saya pelajari dari situ (Indorayon), lalu saya pakai di Riau,” ujarnya. Di Riau, ia membuka Hutan Tanaman Industri dan mendirikan pabrik pulp yang konon terbesar di dunia, PT Riau Pulp. Mulai berdiri 1995, karena krisis, baru jadi pada 2001. Di sekitar pabriknya, bersama lembaga swadaya masyarakat, Sukanto membuat program community development untuk penduduk setempat. “Saya tidak kasih ikan, tapi saya ajari mancing, itu yang kita kerjakan,” tuturnya. Antara lain, program community development: penggemukan sapi, pembangunan jalan, dan pertanian. “Mimpi saya, kalau saya dapat seratus pengusaha Riau itu jadi miliader, saya senang,” katanya lagi. 

Usaha Sukanto yang lain adalah bank. Ketika United City Bank mengalami kesulitan keuangan, pada 1986-1987, ia mengambil alih mayoritas sahamnya dan bangkit dengan nama baru: Unibank. Di Medan, ia pun merambah bidang properti, dengan membangun Uni Plaza, kemudian Thamrin Plaza. Tidak hanya dalam negeri, ia melebarkan sayap ke luar negeri, dengan ikut memiliki perkebunan kelapa sawit

Tugas kewirausahaan Minggu ke 3

 Nama : Ayu Yusinta
 Kelas : 2DA02

 1.  Masalah apa yang berkaitan dengan kesulitan yang biasanya dihadapi wirausahawan dalam mendapatkan modal ?

Jawab :

·         Kinerja atau konsep perusahaan yang meragukan

·         Kegagalan perusahaan untuk menindak – lanjuti
·         Kurangnya pengalaman dan ketajaman bisnis

·         Preferensi dari pemodal

·         Kurangnya hubungan dengan sumber – sumber modal


2.            Sebutkan tiga tahap pendanaan pengembangan bisnis ?

Jawab :

1.  Pendanaan tahap awal

a.    Pendanaan modal benih

b.    Pendanaan pemula

2. Pendanaan ekspansi atau perkembangan

a.    Tahap kedua modal kerja bagi tahap pertumbuhan awal, tetapi tanpa kemampuan mendatangkan laba yang jelas ataupun arus kas.

b.    Tahap ketiga ekspansi besar perusahaan dengan pertumbuhan penjualan yang cepat, pada titik pulang pokok.

c.    Tahap keempat pembiayaan penjembatan untuk mempersiapkan penawaran saham oleh perusahaan kepada masyarakat.

3. Pembiayaan akuisisi dan leveraged buyouts

a.    akuisisi tradisional

b.    leveraged buyouts

c.    privatisasi


3.     Sebutkan enam langkah yang harus dilakukan perusahaan baru dalam memproyeksikan kebutuhan finansialnya ?

Jawab :

1. Membuat proyeksi laporan laba rugi.

2.  Membuat neraca arus kas dan item – item neraca.

3.  Memuat proyek aliran atau arus kas.

4. Membuat proyeksi neraca.

5. Membuat ringkasan kebutuhan dan penggunaan kas.

6. Menentukan bagian dari kas total yang dibutuhkan untuk dibiayai dengan modal ventura.


4.     Unsur dasar apa saja yang penting dalam melakukan analisa pulang pokok ?

Jawab :

Biaya tetap : pengeluaran yang diadakan oleh organisasi tanpa melihat jumlah produk yang dihasilkan.

Biaya variabel : pengeluaran yang berfluktuasi dengan jumlah produk yang dihasilkan.

Biaya total : jumlah total biaya tetap dan biaya variabel yang berkaitan dengan produksi.

Pendapatan total : semua nilai rupiah penjualan yang terakumulasi dari penjualan produk.

Keuntungan :  jumlah pendapatan total yang melebihi biaya total dari produksi barang yang dijual.

Kerugian :  jumlah biaya total produksi barang yang melebihi pendapatan total yang diperoleh dari penjualan barang tersebut.

Titi pulang pokok :  situasi dimana pendapatan total organisasi sama dengan biaya totalnya.


5.     Sebutkan delapan faktor yang harus dipertimbangkan dalam penilaian perusahaan ?

Jawab :

# Sifat dan sejarah dari bisnis.

#  Kondisi perekonomian pada umumnya maupun kondisi dari industri.

#   Nilai buku ( nilai bersih ) dari saham dan kondisi finansial keseluruhan dari perusahaan.

#   Kemampuan membayar dividen dari perusahaan.

#   Penilaian dari hubungan baik dan harta tak tertara dari usaha tersebut.

o   Penilaian penjualan saham.

Ku Jaga Takdirku

Tak Pernah Aku Meminta Bertemu Engkau Dan Bersama Sama Dalam Kehidupan Namun Tuhan Mengirim Engkau Untuk Bersama Denganku Selamanya ...